Senin, 10 Desember 2012

Gaya Komunikasi Dosen Single


         Sebagian besar akar masalah dalam kehidupan manusia adalah bukan karena perbedaan status sosial, usia, tingkat pendidikan, penguasaan teknologi dan lain sebagainya. Tetapi, disebabkan oleh gaya berkomunikasi yang berbeda. Pertukaran informasi dalam proses komunikasi yang tepat dapat membantu untuk menciptakan keteraturan dan rasa damai dalam hubungan antarpribadi. Menciptakan komunikasi yang baik diperlukan kemampuan seperti mendengarkan, bernalar, berbicara, menulis dan lain-lain sebab, semua perilaku manusia tidak akan dapat berjalan tanpa adanya kendala bila tidak didukung dengan komunikasi yang baik dan memahami satu dengan yang lainnya.
Komunikasi adalah transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan, dan sebagainya, dengan menggunakan simbol-simbol, kata-kata, gambar, figur, grafik, dan sebagainya. Tindakan atau proses transmisi itulah yang biasanya disebut komunikasi. Proses komunikasi memungkinkan orang-orang untuk menyampaikan apa yang ada dalam pikirannya kemudian ditransmisikan secara verbal dan nonverbal kepada orang lain agar tercapai maksud tertentu.
Komunikasi yang menggunakan pendekatan antarpribadi dinilai banyak orang paling efektif dalam kegiatan mengubah pemikiran, afeksi, sikap, kepercayaan, opini, dan perilaku orang lain. Yang menjadi penyebabnya adalah karena komunikasi antarpribadi ini lebih mengutamakan tatap muka. Oleh karena itulah terjadi kontak pribadi dan mengarah ke hubungan yang terjalin lebih mendalam, dua arah dan berkesinambungan.
Setiap manusia bertanggung jawab atas pikiran, perasaan dan tindakannya. Untuk menyalurkan pemikiran manusia menggunakan gaya komunikasi yang sebagian besar disampaikan melalui bahasa sebagai media baik di lingkungan formal ataupun nonformal. Gaya komunikasi pula yang menjadi faktor utama dalam menentukan diterima atau tidaknya ilmu yang ditansferkan oleh seorang dosen di suatu lembaga pendidikan. Gaya komunikasi merupakan suatu bentuk perilaku komunikasi dengan tujuan mendapatkan tanggapan tertentu.
Dalam era yang semakin modern dengan giatnya pertukaran informasi yang didominasi oleh tuntutan globalisasi, lembaga pendidikan dihadapkan pada hal yang mendasar yakni dapatkah mempertahankan eksistensi penyaluran informasi melalui gaya komunikasi yang disampaikan oleh para tenaga pendidiknya. Sisi lain akibat dari akselerasi kebutuhan akan tenaga pendidik di lingkungan universitas menjadikan banyaknya akademisi-akademisi baru yang bermunculan dari kalangan muda yang dianggap dinamis dan fresh dari hasil pembelajaran di bangku pendidikan tinggi.
Sesuai dengan kemiripan peran serta fungsinya, dosen dalam dunia belajar-mengajar diartikan sebagai guru. Hanya saja sebutan dosen lebih dispesialisasikan karena dosen mengajar dan mendidik di tingkat lembaga pendidikan yang paling tinggi yaitu universitas. Jika siswa pada lembaga pendidikan tinggi disebut sebagai mahasiswa, berarti guru yang mengajar pada level universitas lebih tepat jika dipanggil mahaguru. Ini akan sangat berpengaruh pada komitmen dan loyalitasnya dalam mentransfer ilmu pengetahuan dan membentuk akhlak anak didiknya. 
           Menjadi dosen yang berprestasi merupakan cita-cita orang yang mengutamakan aktualisasi diri diatas kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya. Harus ada motivasi, spirit yang tinggi dan pengorbanan yang tidak main-main untuk mengemas ilmu pengetahuan yang semakin maju dan rumit untuk tetap tetap mudah dipahami.
            Namun dalam perjalanan karirnya, adakalanya dosen memakai gaya komunikasi tertentu untuk bisa mengelola citra tentang dirinya dimata mahasiswa maupun rekan kerjanya. Hal ini tentu saja bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik bagi orang lain sehingga bisa memuluskan keinginannya. Terlebih jika dosen tersebut belum atau tidak sedang memiliki keterikatan status contohnya status pernikahan. Dosen yang masih Single dianggap cenderung sering melakukan pengelolaan citra agar terlihat formal, berwibawa dan memperlihatkan sisi intelektualitas di depan publik. Hal ini mungkin saja bertolak belakang dengan kehidupan sosialnya di luar kampus yang lebih santai, tidak terbebani dengan lingkungan serius sehingga bebas berinteraksi dalam komunitas apa saja tanpa adanya keterikatan. Sehingga dirumuskan 2 permasalahan yakni ingin mengungkap gaya komunikasi dosen single di dalam kampus dan di luar kampus. 
Dosen Single
Dari sudut kacamata sosial kemasyarakatan umumnya beranggapan bahwa seseorang dinilai ideal jika memiliki keluarga utuh yakni suami atau istri dan menjadi orang tua dari anak-anaknya. Di Indonesia penundaan usia perkawinan banyak dijumpai di kota-kota besar terutama mereka yang berkonsentrasi pada kemajuan prestasi dalam karir dan pendidikan. Terlebih lagi dengan gaya hidup yang di dunia metropolitan yang memungkinkan orang-orang untuk  sulit memiliki waktu khusus di luar pekerjaan karena tingkat kesibukan yang selalu tinggi. Ditambah lagi dengan tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup yang semakin mencekik dimana setiap orang diharuskan untuk dapat bertahan secara finansial jika tak ingin tersisih.
Dalam sebuah laporan penelitian Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (BPS) dikemukakan bahwa :

Partisipasi dalam karir pekerjaan sebelum perkawinan dapat menunda usia perkawinan. Pendidikan dikatakan sebagai alternatif lain dari melangsungkan perkawinan, sehingga sering digunakan alasan seseorang belum menikah karena “masih sekolah”, walaupun usianya sudah mencapai bahkan melampaui rata-rata usia perkawinan yang berlaku di masyarakat.

Dari laporan tersebut terlihat bahwa tuntutan hidup yang dinilai semakin meningkat, ditambah dengan gaya hidup individualisme yang merupakan mindset dari dosen single atau bahkan buah dari gencarnya invasi budaya yang cenderung kebarat-baratan. Hal ini mungkin saja dialami karena sebagian besar dosen single ini pernah mengenyam pendidikan di luar negeri selama dalam kurun waktu yang tidak sedikit semakin memunculkan stigma baru tidak hanya dikalangan masyarakat pada umumnya, bahwa status single adalah sebuah kewajaran. Biasanya orang yang sudah memasuki usia dewasa akan memilih menikah dan berumah tangga. Namun ada yang sudah cukup usia tetapi belum menikah atau tidak menikah. Dalam konteks ini sebutan single (dalam bahasa Inggris) yang berarti lajang dalam bahasa Indonesia. single menurut pengertian umum adalah seseorang yang belum atau tidak menikah.
Lajang atau single yaitu orang yang cukup usia tetapi belum atau tidak menikah, lajang bukan hanya terjadi pada pria tetapi banyak juga terjadi pada wanita. Menurut Santrock (1995) peningkatan orang lajang disebabkan oleh sikap wanita dan pria yang ingin mengembangkan karier sebelum menikah. Banyak hal yang menyebabkan seseorang memilih untuk menjalani hidup melajang antara lain trauma pada keadaan rumah tangga orang tua yang tidak bahagia, keinginan yang kuat untuk mengembangkan karier, kurang memiliki kesempatan untuk bertemu dengan banyak lawan jenis dalam lingkungannya, terlalu ideal dalam memilih pasangan.




Pengelolaan Kesan sebagai Bentuk dari Teori Dramaturgi
Pengelolaan kesan baik seperti yang dilakukan oleh Dosen Single di lingkungan akademiknya sebagai wilayah depan disebut sebagai “Impression Management” dalam konsep teori Dramaturgi oleh Erving Goffman:
An actor performs on a setting which is constructed of a stage and a backstage; the props at either setting direct his action; he is being watched by an audience, but at the same time he is an audience for his viewers' play.
(The Presentation of  Self in Everyday Life, Erving Goffman, 1959)

Kajian Dramaturgi dipopulerkan oleh Erving Goffman, salah seorang sosiolog yang paling berpengaruh pada abad 20. Istilah ini ia tuangkan bukunya yang berjudul The Presentation of Self in Everyday Life yang diterbitkan pada tahun 1959, Goffman memperkenalkan konsep dramaturgi yang bersifat penampilan teateris.
Menurut pemikiran Goffman, manusia sebagai aktor yang berusaha untuk menggabungkan keinginan dalam “Pertunjukan Teater yang dibuat sendiri olehnya. Dalam mencapai tujuannya tersebut, menurut konsep dramaturgi, manusia akan mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya tersebut. Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor drama kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Kelengkapan ini antara lain memperhitungkan setting, penggunakan kata verbal (dialog) dan tindakan nonverbal lainnya. Melalui istilah “Pertunjukan Teater”, Goffman membagi dua wilayah kehidupan sosialnya :
  1. Front Region (wilayah depan), adalah tempat atau peristiwa sosial yang memungkinkan individu menampilkan peran formal atau berperan layaknya seorang aktor. Wilayah ini juga disebut front stage (panggung depan) yang ditonton oleh khalayak. Panggung depan mencakup, setting, personal front (penampilan diri), expressive equipment (peralatan untuk mengekspresikan diri), kemudian terbagi lagi menjadi appearance (penampilan) dan manner (gaya).
  2. Back Region (wilayah belakang), adalah tempat untuk individu mempersiapkan perannya di wilayah depan, biasa juga disebut back stage (panggung belakang) atau kamar rias untuk mempersiapkan diri atau berlatih untuk memainkan perannya di panggung depan. Di tempat ini dilakukan semua kegiatan yang tersembunyi untuk melengkapi keberhasilan akting atau penampilan diri yang ada pada panggung depan.
            Dalam konsep Dramaturgi Goffman, kontribusi teori interaksionisme simbolik begitu terlihat jelas terutama dalam hal menjabarkan berbagai macam pengaruh yang ditimbulkan penafsiran orang lain terhadap identitas atau citra-diri individu yang merupakan objek interpretasi, yang lebih jauh dijabarkan Goffman sebagai “Keutuhan Diri”. Dramaturgi merupakan suatu pendekatan yang lahir dari pengembangan Teori Interaksionisme Simbolik. Dramaturgi diartikan untuk mempelajari perilaku manusia, tentang bagaimana manusia itu memaknai arti hidup mereka dan lingkungan tempat dia berinteraksi demi memelihara eksistensi diri.
Gaya Komunikasi
 Gaya komunikasi dapat dibedakan ke dalam bentuk gaya komunikasi konteks tinggi dan gaya komunikasi konteks rendah. Gaya bicara dalam komunikasi konteks tinggi ini, orang lebih suka berbicara secara implisit, tidak langsung, dan suka berbasa-basi. Salah satu tujuannya, untuk memelihara keselarasan kelompok dan tidak ingin berkonfrontasi. Dengan kata lain, agar tidak mudah menyinggung perasaan orang lain. Komunikasi budaya konteks tinggi, cenderung lebih tertutup dan mudah curiga terhadap pendatang baru atau orang asing.
Sementara gaya komunikasi dalam konteks rendah, biasanya digunakan oleh orang-orang yang memiliki pola pikir linier. Bahasa yang digunakan langsung, lugas, dan tidak eksplisit. Komunikasi konteks rendah, cepat dan mudah berubah karena tidak mengikat kelompok.
Komunikasi dikatakan berkonteks tinggi manakala komunikator menggunakan ’bahasa bersayap”, bahasa yang hanya bisa ditangkap artinya jika komunikan memahani budaya komunikator. Kegemaran menggunakan bahasa tubuh yang tidak jelas, atau bahasa verbal yang tidak to the point juga petunjuk komunikasi tingkat tinggi. Singkatnya, the meaning of the message is in context. Sebaliknya, dalam komunikasi konteks rendah, komunikan tidak mengalami kesulitan memahami arti pesan yang disampaikan komunikator, sebab jelas, terang dan disampaikan secara langsung atau lugas
Dari berbagai pendapat tentang gaya komunikasi diatas secara garis besar dapat dipahami bahwa gaya komunikasi merupakan cara yang digunakan komunikator dalam menyampaikan pesan. Setiap komunikator mempunyai gaya komunikasi dan ciri khas berbeda-beda. Perbedaan ini dapat dilihat dari segi budaya, pendidikan, lingkungan keluarga, pengalaman dan lain sebagainya. Gaya komunikasi ini dipakai dengan tujuan untuk mendapatkan respon dari orang sekitarnya.
-MEUTIA-